Membeli Puteri Indonesia
Perempuan yang berdiri meriung kamera adalah jerit dan tangis feminisme. Mereka dilihat, dikonsumsi, dan dijadikan objek ideologi yang bangga akan kecantikan awam dan kepribadian. Jasmani mereka bertekuk lutut pada nalar patriaki yang hegemonik. Identik dengan perayaan dan kemewahan. Perhelatan setahun sekali yang mengungkap jelas kebodohan perempuan.
Puteri Indinesia dijadikan budaya dan ikon bagi perempuan. Mereka dikonstruksi dalam tiga aspek, yakni beauty, brain, dan behavior. Itu melanggengkan mekanisme yang modernis dan hedonis. Beauty berarti perempuan harus selalu cantik dan itu berarti selalu berhubungan dengan rias wajah, baju mewah, kulit putih, anggun, lenggak-lenggok, rambut panjang tergerai, dan menakjubkan. Brain menuntut perempuan bisa berbahasa asing dan bisa menjawab pertanyaan. Behavior menuntut perempuan bersikap menjilat, sopan dan takut pada lelaki.
Ironis. Perempuan seperti itu telah merusak dan dirusak. Tak berdaya menggugat dan mencintai kebebasan. Tubuh mereka terus diracuni kosmetik dan obat-obatan pengurus badan. Mereka belajar mencintai budaya Barat dan diibaratkan. Itulah kehancuran tradisi dan ideologi orisinil dan rasional.
Ikon ke Male Gaze
Hasrat menuai perhatian publik termanifestasi dari iklim paternalistik. Dorongan memenuhi kriteria kecantikan melukiskan destruksi prinsip diri yang bahagia. Kontrol diri terhadap makanan makin ketat. Sering pergi ke salon kecantikan dan ”membantai” tubuh. Nalar keperempuanan membeku. Subjektivitas tak berlaku. Perempuan rela diperkosa oleh kultur tontonan dan pertunjukan diri.
Stereotipe perempuan berkulit sawo matang asli Indonesia tak laku di mata mancanegara. Perempuan harus berkulit putih dan berwajah kebarat-baratan. Itu tak langsung mempermudah kapitalis kosmetik dan konfeksi. Puteri Indonesia yang terpilih pun perempuan yang lama bermukim di Inggris dan tak fasih berbahasa Indonesia. Itu indikasi, nasionalisme tergagalkan dalam misi pembangunan martabat bangsa ke mancanegara.
Tak ada yang tergugat. Perempuan terus jadi korban ikon kecantikan. Potensi perlawanan terhadap produk terus melemah dan menghilang. Perempuan tak pernah resah dan malah bangga menunjukkan diri memakai bedak tebal. Berdandan menor supaya mendapat perhatian kaum maskulin.
Perempuan diajari ”menawarkan” kecantikan sebgai ”penukar” kenyamanan ragawi dan pada laki-laki, seperti dihadirkan dalam citra Puteri Indonesia. Seksualitas perempuan dileburkan dalam seksualitas lelaki. Atau lebih lugas, satu-satunya seksualitas adalah seksualitas lelaki. Perempuan seperti itu senang jadi male gaze. Mereka, secara tidak sadar, melanggengkan dan menumbuhsuburkan budaya patriaki yang menundukkan perempuan dalam kuasa lelaki.
Teknologi dan Reproduksi Kebutuhan
Puteri Indonesia jadi ikon kecantikan untuk ditiru perempuan lain. Dari gaya rambut, gaya hidup, gaya berjalan, sampai gaya tutur. Semua berkait dengan upaya menjadikan mereka trend setter. Itu berimplikasi pada penggunaan teknologi dan eksploitasi.
Leiss (1990) dalam esai ”Under Technology’s Thumb” menyatakan segala sesuatu berkait dengan teknik ”menjadi cantik” yang berarti pemecahan masalah praktis atau teoretis yang muncul dari kekuatan lingkungan yang memaparkan organisme. Dan teknologi, menurut pendapat Leiss, punya efek transformatif lebih besar terhadap perilaku perempuan.
Teknologi sesuatu yang kultural, sedangkan teknik berkait dengan hal ”teknis”seperti ketika perempuan meniatkan diri mengencangkan payudara dengan suntikan botox. Lebih lanjut Leiss menyatakan teknologi yang digunakan perempuan ”mengubah diri” sebagai ”modus reproduksi sosial” yang di masyarakat modern berarti ”totalitas berkenaan dengan sistem ideologi, yakni kapitalisme dan hedonisme”.
Ketika mekanisme penyerapan ideologi yang dibawa ikon Puteri Indonesia sampai ke perempuan di negeri ini, modus sosiokultural akan ternaturalakan. Secara teknologis dan teknis mereka terkunci dan terus mendorong perempuan mengonsumsi produk yang ditawarkan. Itu akan menjadi kultur retitif sekaligus masif.
Melalui Puteri Indonesia, rasa lelaki terhadap tubuh perempuan akan berubah-ubah pula. Kategorisasi kecantikan akan makin kompleks dan terus berkembang sesuai dengan selera pemilihan Puteri Indonesia. Featherstone (dalam Prabasmoro, 2006) menuturkan, para lelaki seperti itu disti,ulasi petite bourgeoisie dalam citra yang dibawa para putri. Mereka menjadi agen yang ”membentuk” sekaligus ”mengadopsi” modus pemilihan perempuan.
Hidup keseharian kita adalah pernyataan keseharian diri. Pilihan atas shampo, sabun, dan perwatan tubuh adalah juga pernyataan identitas. Representasi yang dibawa Puteri Indonesia dengan produk yang dikenakan dalam iklan juga menentukan jalan kehidupan. Transformasi pilihan terhadap mutu dan kualitas perempuan juga tertentukan. Cita rasa terhadap tubuh perempuan juga terpatenkan. Fashion dan kosmetik seolah-olah menjamin kelanjutan hidup perempuan.
Itu persitegangan kultural yang semestinya diluruskan. Perempuan jangan mau jadi barang yang dipilih-pilih dan dipajang. Tunjukkan identitas dengan harga diri tinggi serta kemapanan intelektual. Itu lebih mulia ketimbang rela diperbudak kecantikan yang tak abadi.
ih, sayang sekali ea...!!??
BalasHapusmasak Putri Indonesia dijual-belikan.